13.6.16

Analisis Novel Negeri 5 Menara - Karya Ahmad Fuadi












Judul                           : Negeri 5 Menara
Penulis                         : Ahmad Fuadi
Ilustrasi                       : Slamet Mangindahan dan Doddy R. Nasution
Editor                          : Mirna Yulistrianti
Setting                         : Rahayu Lestari
Bahasa                         : Indonesia
Jumlah Halaman          : 420
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                : Cetakan Pertama Juli 2009
  Cetakan Kedua Oktober 2009
ISBN                           : 978-979-22-4861-6

               
Karya  sastra, pada dasarnya, merupakan potret kehidupan nyata yang diwujudkan  dari imajinasi kemudian diolah oleh pengarang sehingga kebenarannya hanya dalam prespekif pengarang saja. Karya sastra banyak ragamnya, Novel adalah salah bentuknya. Novel umumnya mengungkapkan masalah manusia yag meliputi aspek sosial, budaya, romans dan bahkan aspek politik. Melalui novel, sastrawan menampilkan Unsur ekstrinsik yaitu segala faktor luar yang menjadi dasar penciptaan karya dan juga unsur Intrinsik yang menjadi unsur pembangun serpihan-serpihan isi dari sebuah karya sastra. Sebuah novel oleh Ahmad Fuadi yang berjudul Negeri 5 Menara, merupakan sebuah karya yang disusun secara apik dengan pengambilan latar yang berbeda dari novel kebanyakan. Menghadirkan tokoh-tokoh yang berkesan di benak pembaca. Negeri 5 Menara, MAN JADDA WAJADA!

Tema dari novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi adalah pendidikan dan sebuah kerja keras yang menghasilkan kesuksesan. Hal ini dapat dilihat dari latar tempat yaitu dipesantren dimana kegiatan utama yang dilakukan sehari-hari tokoh utama adalah belajar. Hal ini dapat dibuktikan dari halaman awal ayng menampilkan kutipan utama dari novel "MAN JADDA WAJADA" , yang di teriakan Ustad Salman pada awal pertemuan dengan Alif Fikri si tokoh utama di PM (Pesantren/Pondok Madani), arti dari man jadda wajadda sendiri adalah siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil.

Karakter dalam Negeri 5 Menara berasal dari berbagai latar belakang. Tidak ada tokoh antagonis dalam novel ini. Meskipun tidak menghadirkan sosok antagonis tetapi setiap permasalahan di novel dikisahkan berasal dari atauran-aturan yang ada di PM. Tokoh utama dalam novel ini adalah tokoh protagonis Alif Fikri digambarkan sebagai sosok generasi muda yang penuh motivasi, berbakat, memilik semangat untuk maju, tidak kenal menyerah, penurut dan patuh. Lalu ada Tokoh Amak dan Ayah, yang memiliki sikap ramah kepada siapa saja, peduli dan setia kepada anaknya. Selebihnya adalah 5 teman dekat Alif yang juga ikut memberi warna kepada kisah ini. Dulmajid, sosok yang rajin belajar dan setia kawan. Lalu ada Raja Lubis, si percaya diri dan rajin membaca. Ada Said, yang paling dewasa diantara yang lain tetapi sedikit kurang percaya diri. Ada juga sosok Baso, Baso adalah anak yang paling rajin dan paling bersegera apabila disuruh ke mesjid, dia juga orang yang agamis terlihat pada salah satu kalimatnya di dalam novel “saya ingin mendalami agama islam dan menjadi penghafal Al-Quran”. Ia juga seorang yang sangat berbakti kepada orangtua. Yang terakhir ada Atang, sosok Humoris sebagai pengimbang dari sosok teman-temannya yang lain.



Negeri 5 Menara memusatkan jalan cerita pada apa yang terjadi di balik tembok pesantren. Hanya sedikit di bab pembuka berkisah tentang kampung halaman Alif yaitu di tanah Minangkabau, Sumatera barat dan latar Negara Wahington DC, Desember 2003 jam 16.00. Selebihnya terfokus pada bagian pesantren, yaitu PM. Tempat-tempat yang disorot meliputi, aula, kamar, menara, dan kelas. Waktu juga di gambarkan secara gamblang oleh penulis, seperti malam, pagi dan siang hari. Suasana di dalam novel meliputi, menegangkan, bahagia dan sedih.

Alur yang digunakan adalah alur mundur, dimana pada novel dikisahkan kisah Alif sejak ia masih belajar di PM. Eksposisi Kisah berawal dari seorang wartawan VOA, yang sedang berada di Washington DC. Wartawan itu bernama Alif Fikri. tanpa disengaja ia mengecek laptopnya dan tiba-tiba ada pesan masuk dari seorang yang bernama Batutah. Setelah berbalas-balas pesan, teryata dia adalah teman lama Alif dari sekolah lamanya di PM. Dikisahkan, Alif tidak ingin bersekolah di sekolah madrastah ataupun pesantren, sedangkan Amaknya tidak rela jika Alif masuk sekolah SMA umum, karena Amaknya ingin anak laki-lakinya bersekolah agama, dan menjadikan anaknya menjadi pemimpin agama di masa depan, seperti Buya Hamka. Komplikasi dimulai ketika Baso bercerita kepada teman-teman shahibul menara (5 sekawan), bahwa sepertinya ia harus meninggalkan PM duluan dibandingkan dengan teman-teman yang lain, karena ia harus merawat neneknya yang sedang sakit parah. Akhirnya paman Latimbang menjemput Baso yang berada di PM, dan Baso pun harus meninggalkan PM untuk selamanya. Perasaan dan air mata pembaca mulai bermain ketika adegan Baso meninggalkan PM.

Klimaks dimulai ketika Ustadz Torik begitu marah ketika mendengar bahwa ada siswa yang pergi dari PM tanpa izin terlebih dahulu. Mereka itu adalah Said, Alif, dan Atang. sebelum itu, mereka meminta izin ke Ponorogo untuk mencari barang, tetapi barang itu tidak ada, dan mereka pun harus pergi ke Surabaya untuk mendapatkan barang tersebut. Akhirnya mereka bertiga diberikan hukuman yang sangat berat, yaitu dicukur habis rambutnya. Antiklimaks yaitu ketika seluruh siswa PM kelas 6, telah berhasil menyelesaikan ulangan akhir, untuk menentukan kelulusan mereka. Kemudian mereka semua pun berisah, begitu juga dengan shahibul menara yang akan menempuh jalannya masing-masing untuk mewujudkan impian meraka. Di warnai dengan Resolusi Shahibul menara telah mencapai impiannya masing-masing dan berencana akan melakukan reuinian setelah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Novel ini ditutup dengan kesuksesan pada tokoh mencapai menara impian mereka  masing-masing

Gaya bahasa yang digunakan pada novel meliputi, Hiperbola, yaitu terkesan melebih-lebihkan, dapat kita jumpai pada kutipan di novel, "Kami bisa makan bagai kesurupan" halaman 122, kalimat tersebut meggambarkan keadaan seseorang yang kelaparan sehingga bisa makan seperti tidak terkendali. Lalu pada kutipan yang lain pada halaman 190 "Kiai Rais telah menyetrum 3000 murid kesayangannya" yang bermakna telah memotivasi murid-muridnya bukan bermakna menyetrum dengan listrik.

Penulis juga menyisipkan gaya bahasa Personifikasi, yaitu membuat benda yang mati seolah hidup. "Wajah dingin mencucuk tulang..." Halaman 2, wajah yang dingin diibaratkan seperti pisau yang bisa mencucuk tulang.  "Jantungku melonjak-lonjak girang" halaman 5, jantung di umpakan bisa melonjak-lonjak girang seperti seorang manusia. Dan pada halaman 142 "Cerita Kiai Rais terus berputar di kepalaku" cerita yang diibaratkan seperti sebuah mobil yang berputar.  

Tak ketinggalan gaya bahasa Asosiasi juga digunakan penulis, yaitu gaya bahasa yang membandingkan sesuatu dengan yang lain, yang dapat kita jumpai pada kutipan di dalam novel "kami seperti sekawanan tentara yang terjebak..." halaman 64, membandingkan kami (Alif dan teman-teman) seperti tentara yang terjebak di dalam suatu perang. Dan pada halaman 124 "Mukanya dingin seperti besi" membandingkan wajahnya yang dingin seperti sebuah besi.

Dalam novel ini penulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Hal ini dikarenakan tokoh utama selalu menyebut dirinya dengan kata aku. Hal ini dapat kita lihat pada salah satu kutipan novel “Aku baca suratnya sekali lagi. Senang membaca surat dari kawan lama. Tapi aku juga iri. Rencana masuk SMA-nya juga rencanaku dulu. Aku menghela napas dan menatap kosong kepuncak pohon kelapa. Aku tidak boleh terlambat lagi. Aku kapok jadi jasus. Aku jera menjadi drakula” halaman 102-103.


Banyak sekali nilai yang dapat kita ambil dari Negeri 5 Menara. Nilai Agama, novel ini menceritakan tentang kehidupan sekitar pesantren sehingga banyak mengajarkan nilai agama yang tidak terdapat pada novel-novel lain. Salah satu bukti itu adalah kalimat “Man Jadda Wa Jadda”, yang berarti siapapun dapat meraih cita-citanya asal ia bersungguh-sungguh. Dan Nilai Moral, Kebersamaan Sahibul Menara dalam menghadapi kerasnya pendididkan di pesantren mengajarkan bahwa sebagai penuntut ilmu, kita harus sabar dan tidka pantang menyerah menuntaskan apa yang telah dimulai.

Negeri 5 menara merupakan sebuah novel yang berbeda dari novel kebanyakan. Keberanian penulis mengambil latar di pesantren merupakan daya tarik tersendiri dari novel ini. Ahmad Fuadi seolah ingin mengubah stereotype tetang novel yang beredar di pasaran, yang melulu tentang kisah percintaan. Kehadiran Negeri 5 Menara yang dikemas secara apik dengan bahasa indah yang mudah di mengerti sehingga novel ini langsung dengan cepat mendapat tempat di hati para pembacanya.

0 Coment:

Posting Komentar